
MetronusaNews.co.id | Depok – Alhamdulillah, kita jumpa lagi dalam rubrik ini: Shaum dan Ibadah Ramadhan Rasulullah SAW, seri ke-23. Semoga selama 21 hari yang telah berlalu, Al-Qur’an sudah dijadikan sebagai sumber hukum, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Salah satu tolok ukurnya adalah bertambahnya ilmu dan pemahaman kita tentang sahur, ifthar, shalat, dan dzikir yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Berdasarkan pemikiran, pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan perilaku seperti itulah, penulis mengangkat tema Al-Qur’an sebagai Kurikulum Kehidupan Manusia.
Al-Qur’an sebagai Way of Life
Dalam pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal, terdapat silabus, kurikulum, dan metode yang terdiri dari mata pelajaran dasar, khusus/pilihan, serta tambahan. Hasilnya, diperoleh sekian SKS untuk mata pelajaran tertentu. Ada juga formulasi berupa mata kuliah umum dan mata kuliah konsentrasi.
Di pesantren atau madrasah, secara akumulatif, sistem pembelajaran biasanya dikenal dengan perbandingan 60:40, 50:50, atau 75:25. Artinya, pelajaran agama dan umum dibagi dalam persentase tertentu, misalnya 50% agama dan 50% pelajaran umum. Sementara itu, dalam pendidikan umum, dari SD hingga universitas, pelajaran agama hanya mendapat porsi 2 SKS.
Inilah awal dari kegagalan sistem pendidikan. Baik dalam sistem pesantren/madrasah maupun sekolah yang dikelola pemerintah dan swasta, dampak negatifnya terlihat dalam beberapa hal.
Pertama, terjadi sekularisasi ilmu pengetahuan. Di pesantren atau madrasah, pelajaran agama mencakup mengaji, hadis, fiqh, aqidah, syariah, bahasa Arab, dan akhlak. Sementara itu, pelajaran umum terdiri dari matematika, fisika, geografi, biologi, sejarah, dan lain-lain. Di sekolah umum, pelajaran agama hanya mencakup sejarah Islam dan fiqh. Akibatnya, terjadi pemisahan ilmu-ilmu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul.
Siapa yang berani mengatakan bahwa matematika, fisika, dan ilmu kedokteran bukan bagian dari ajaran Islam? Matematika dahulu dikenal dengan nama aljabar, yang berarti menghitung, dan ditemukan oleh sarjana Muslim Al-Khawarizmi. Dialah yang mengenalkan angka nol dan bilangan desimal yang kini digunakan dalam ilmu statistik. Ilmu kedokteran juga berasal dari Islam. Dahulu, bidang ini disebut ilmu hayat (bahasa Arab: kehidupan). Tak heran jika bapak ilmu kesehatan dunia adalah Ibnu Sina, yang di Barat dikenal sebagai Avicenna. Bukunya menjadi rujukan mahasiswa kedokteran di Eropa dan Amerika.
Kedua, sekularisasi kehidupan. Ketika kurikulum dipisahkan antara ilmu agama dan ilmu dunia, maka pola pikir masyarakat pun terbagi. Ada yang menganggap bahwa untuk menjadi orang hebat, seseorang harus menjadi dokter, insinyur, korporat, hakim, atau jaksa tanpa perlu belajar Al-Qur’an. Mereka tak perlu bisa mengaji, shalat, atau shaum.
Sebaliknya, ada pula yang berpendapat bahwa untuk menjadi orang hebat, seseorang harus pandai bahasa Arab, lancar membaca Al-Qur’an, rajin shalat, shaum, dan berhaji, tanpa memedulikan sains dan teknologi. Akibatnya, baik lulusan pendidikan umum maupun pesantren sama-sama bersikap sekuler, karena mereka telah memisahkan ilmu dunia dan akhirat.
Padahal, doa sapujagat yang kita panjatkan berbunyi: “Rabbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban naar” (Ya Rabb kami, berikanlah kebahagiaan bagi kami di dunia dan di akhirat, serta jauhkanlah kami dari siksa neraka).
Konsekuensinya, seorang muslim/muslimah yang muttaqin adalah individu yang menyinergikan kehidupan dunia dan akhirat secara utuh. Mereka tidak memisahkan keduanya, meskipun bisa dibedakan. Layaknya magnet, sekecil apa pun, tetap memiliki kutub utara dan selatan. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, bencana dunia. Sekularisasi kehidupan melahirkan berbagai bencana seperti korupsi, huru-hara, peperangan, perusakan hutan dan laut, serta degradasi moral. Hal ini terjadi karena manusia hanya mengutamakan salah satu aspek kehidupan, dunia atau akhirat saja. Mereka tidak menjalankan hidup secara komprehensif, baik dalam sistem, budaya, maupun perilaku sehari-hari.
Sejak 15 abad lalu, Al-Qur’an telah menetapkan silabus dan kurikulum kehidupan manusia, sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rum ayat 30 dan surah Luqman ayat 13-19. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, penulis mengusulkan kurikulum pendidikan yang mencakup:
1. Aqidah
2. Syariah
3. Akhlak
4. Sirah
5. Sains tabii (matematika, fisika, kimia, ekonomi, IT, dan ilmu sains lainnya)
6. Sains manusia (sosiologi, budaya, politik, hukum, kesehatan, dll.)
Simpulan;
Mengimani Al-Qur’an berarti menjadikannya sebagai kurikulum kehidupan. Sebab, Al-Qur’an membahas kepentingan individu, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, hingga antarbangsa. Artinya, Al-Qur’an juga harus menjadi kurikulum pendidikan formal, informal, dan nonformal, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Target pendidikan adalah melahirkan generasi yang bertauhid, berilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, berkemampuan, dan berakhlak mulia. Semua itu dapat dicapai dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai kurikulum kehidupan.
Mulai hari ini, mari kita semua menjadikan Al-Qur’an sebagai kurikulum dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan lingkungan kerja. Dengan begitu, peluang untuk meraih lailatul qadar di tujuh hari terakhir Ramadhan semakin besar. Lebih dari itu, kita bisa memperoleh medali takwa pada 1 Syawal nanti. InsyaAllah!
Oleh: Abdullah Hehamahua
(Red)