
Palopo – Penulis : Syarif Al Dhin. Malam Idul Fitri. Bulan Ramadhan telah berakhir, dan kini kita memasuki hari kemenangan. Tapi kemenangan bagi siapa? Apakah bagi mereka yang berhasil menghabiskan THR lebih cepat dari waktu berbuka? Ataukah bagi mereka yang selama Ramadhan mendadak religius, lalu esoknya kembali lupa dengan niat baiknya?
Tak terasa, 30 hari sudah kita berpuasa. Menahan lapar, dahaga, serta—katanya—hawa nafsu. Tapi entah kenapa, di jalan raya esok hari, hawa nafsu sepertinya kembali berkuasa, ditandai dengan klakson bersahut-sahutan dan para pengendara yang mendadak lupa adab di jalan. Seakan-akan, kesabaran yang dikumpulkan selama Ramadhan ikut terurai bersama ketupat yang dipotong di meja makan.
Takbir berkumandang, suara merdu mengalun, menyejukkan hati. Namun, di sisi lain, grup WhatsApp keluarga sudah mulai panas dengan perdebatan klasik: siapa yang harus mudik ke rumah siapa dulu? Ada yang bertahan dengan argumen, “Tahun lalu sudah ke rumah mertua!” Sementara yang lain tetap teguh dengan prinsip, “Tahun ini harus giliran rumah orang tua!” Mungkin inilah hikmah Idul Fitri, ujian kesabaran sesungguhnya.
Ramadhan telah berlalu, dan bagi sebagian orang, ini adalah bulan penuh ujian. Namun, tidak semua ujian diciptakan sama. Ada mereka yang bersusah payah menahan lapar dan haus dari subuh hingga magrib, lalu ada juga sekelompok individu luar biasa yang mampu bertahan hanya beberapa jam sebelum akhirnya menyerah pada godaan es teh manis di warung terdekat. Kepada mereka, kami ingin memberikan penghargaan khusus: Pejuang Lapar Sesaat!
Mereka adalah sosok yang unik, para atlet sprint dalam maraton Ramadhan. Mereka yang kuat bertahan hingga jam sepuluh pagi sebelum perut mereka mulai berbisik, “Bukankah Tuhan Maha Pengampun?” atau mereka yang dengan penuh semangat sahur, tetapi hanya bertahan hingga pukul dua siang sebelum tiba-tiba merasa ‘kurang enak badan’.
Tak lupa juga kepada mereka yang secara ajaib selalu menemukan ‘udzur’ di setiap kesempatan. “Lagi banyak kerjaan, nanti malah pingsan kalau puasa,” ucap mereka, sambil menyeruput kopi susu di siang bolong. Atau mereka yang selalu mendadak ‘perjalanan jauh’ saat bulan Ramadhan, meskipun destinasi akhirnya adalah warung makan favorit yang tutup tirai setengah hati.
Namun, mari kita tetap apresiasi perjuangan mereka. Sebab, di dunia ini, tidak semua orang sanggup melawan rasa lapar hingga waktu berbuka. Ada yang sudah melatih diri sejak dini dengan “puasa setengah hari” sejak SD, dan ternyata kebiasaan itu terus berlanjut hingga dewasa. Konsistensi adalah kunci!
Kini, dengan berakhirnya Ramadhan, mereka pun bisa bernafas lega. Tak perlu lagi bersembunyi di balik warung gelap atau meneguk air dengan tatapan penuh dosa. Idul Fitri menjadi hari kemenangan bagi semua, termasuk mereka yang telah memenangkan ‘perang kecil’ melawan kantuk saat sahur, walau akhirnya tetap batal juga.
Selamat Idul Fitri! Semoga tahun depan mereka bisa lebih kuat, lebih sabar, dan mungkin, hanya mungkin, bisa menyelesaikan satu bulan penuh tanpa harus mencari alasan kreatif untuk berbuka lebih awal.
Lalu, ada juga yang paling semangat bermaafan. “Mohon maaf lahir dan batin,” katanya sambil tersenyum. Tapi dalam hati, sudah menyiapkan daftar panjang orang yang tetap akan ia sindir di status media sosial setelah hari raya usai. Bukankah itu juga bagian dari tradisi?
Namun, di tengah semua ironi ini, Idul Fitri tetaplah momen yang suci. Setidaknya, di hari yang fitri ini, kita bisa mencoba menertawakan diri sendiri, menyadari bahwa perjalanan menuju kemenangan sejati masih panjang. Dan semoga, setelah Ramadhan ini, kita tidak kembali menjadi manusia yang kalah oleh dirinya sendiri.
Selamat Idul Fitri! Semoga kemenangan ini benar-benar membawa perubahan, bukan sekadar seremonial tahunan yang penuh dengan gimmick sementara. **
_Penulis adalah Kuli Tinta PPWI yang penuh dengan banyak kehilafan_