
MetronusaNews.co.id | Cirebon – Upaya pengungkapan praktik prostitusi terselubung di Cirebon, Jawa Barat, nyaris berujung intimidasi terhadap seorang wartawan investigatif. Sofian, jurnalis asal Jakarta, yang tengah menelusuri laporan masyarakat soal dugaan praktik prostitusi dengan jaringan perlindungan oknum aparat, justru mendapat ancaman melalui pesan WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai anggota polisi dari Polres Cirebon.
“Saya lagi investigasi kasus prostitusi terselubung di wilayah Cirebon. Ternyata ada dugaan kuat dibekingi oknum aparat dari Polres Cirebon. Saat itulah saya mulai merasa diintimidasi,” ungkap Sofian saat menghubungi rekan-rekan media, Kamis (8/5/2025).
Menurut Sofian, pesan bernada mengancam itu dikirim oleh seseorang yang mengaku bernama Januar Pamungkas dari kesatuan reskrim Polres Cirebon. Isi pesan tersebut mengaitkan nama Sofian dengan tuduhan membuat “orderan fiktif” di salah satu hotel yang disebut berada di bawah “backup” pengirim pesan.
*Berikut isi pesan ancaman tersebut*:
“Selamat siang saudara Vian kerabat dari saudara Alen. Saya Januar Pamungkas dari kesatuan reskrim Polres Cirebon. Izin monitor!
Saya baru saja menerima laporan dari salah satu layanan hotel yg berada dalam backup atas nama saya terkait dengan orderan yg tidak dipertanggungjawabkan atau ORDERAN FIKTIF dan ini mengatasnamakan sampean.
Untuk laporan instansi terkait sudah memberikan beberapa bukti berupa pesan via WhatsApp dan rekaman suara proses pemesanan bill dan bukti transaksi atas nama sampean.
Terkait laporan dari instansi terkait ini bisa kamu selesaikan secara baik-baik atau laporan kami proses lanjut saja sesuai UUD ITE Pasal 35 UU No. 19 Tahun 2016. Pelaku orderan fiktif dapat dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12 miliar.”
Ancaman menggunakan pasal pidana dalam konteks pekerjaan jurnalistik ini dinilai sejumlah pengamat sebagai bentuk pelemahan terhadap kebebasan pers. Terlebih, dugaan keterlibatan oknum aparat dalam praktik prostitusi menambah serius persoalan yang sedang diungkap Sofian.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., sekaligus Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012, dan beberapa LBH Pers menyoroti cara intimidasi digital dan penggunaan pasal UU ITE yang manipulatif.
“Kami melihat ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap wartawan. Siapapun yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Cara-cara seperti ini berbahaya karena dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi,” ujar Wilson dalam keterangan lainnya.
LBH Pers juga menilai bahwa isi pesan itu perlu ditelusuri lebih lanjut, terutama kebenaran identitas pengirim dan dugaan keterlibatannya dalam jaringan bisnis ilegal.
Sofian menyatakan tidak akan mundur. Ia berencana melaporkan intimidasi tersebut ke kompolnas, Komnas HAM, dan bahkan ke Divisi Propam Mabes Polri untuk memastikan ada proses etik dan hukum yang berjalan terhadap siapa pun yang terlibat.
“Ini bukan cuma soal saya sebagai wartawan. Ini soal publik yang punya hak atas informasi bersih, bukan ditutupi dengan teror dan manipulasi hukum,” tegas Sofian.
Awal mula cerita dan investigasi lapangan Kamis siang, 08 Mei 2025 pukul 11.30 WIB, seorang pria berinisial V (nama samaran) menjadi korban dari praktik prostitusi terselubung yang beroperasi melalui aplikasi media sosial Michat. Perkenalannya dengan seorang wanita berinisial Caca (samaran) berujung bukan pada pertemuan, melainkan pada kehilangan uang dan intimidasi oleh sosok yang mengaku sebagai aparat kepolisian.
Korban V mengaku awalnya hanya ingin berkenalan dan menjalin pertemanan melalui aplikasi. Namun komunikasi mereka mengarah pada kesepakatan “transaksi” di salah satu hotel wilayah Kota Cirebon, tepatnya di Hotel MD7, Jalan Siliwangi. Usai harga disepakati, V diminta mentransfer sejumlah uang sebesar Rp
350.000 melalui aplikasi Dana.
Namun setelah uang ditransfer, prosedur mendadak berubah. V diminta kembali mentransfer sejumlah uang tambahan dengan nominal Rp500.000, dengan dalih “deposit” dan berbagai alasan lain. Merasa telah ditipu dan tidak kunjung bertemu dengan Caca, V pun mengikhlaskan uangnya hilang dan tidak memperpanjang masalah.
Yang mengejutkan, beberapa menit kemudian, V menerima pesan WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai anggota Reskrim Polres Cirebon. Dalam pesan itu, si pengirim mengintimidasi V dengan ancaman hukum berdasarkan pasal UU ITE, menyebut adanya laporan dari pihak hotel mengenai pemesanan fiktif, dan menyodorkan pasal-pasal hukum yang seolah ingin menakut-nakuti.
Tak hanya itu, oknum tersebut bahkan secara terang-terangan mengklaim bahwa jaringan wanita panggilan yang beroperasi di Hotel MD7 berada di bawah “backup” atau perlindungannya.
“Kami punya bukti chat dan rekaman suara,” bunyi pesan itu, seraya menyebutkan bahwa permasalahan bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau akan diproses hukum.
Hal ini menimbulkan kecurigaan besar bahwa praktik prostitusi yang berlangsung di jantung Kota Cirebon tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun juga diduga kuat mendapat perlindungan dari oknum aparat kepolisian.
“Miris dan memalukan,” ujar V kepada wartawan. “Saya sudah legowo ditipu. Tapi kenapa malah diintimidasi? Kalau benar ada oknum polisi yang membekingi prostitusi, ini harus dibongkar habis.”
Hotel MD7 disebut sebagai salah satu titik aktivitas para wanita panggilan tersebut. Modus yang digunakan terkesan sistematis: menggunakan aplikasi digital untuk menjaring korban, menetapkan harga, lalu menguras uang dengan dalih deposit tambahan. Setelah itu, ketika korban sadar tertipu, mereka malah diteror oleh pihak yang mengaku sebagai penegak hukum.
Oknum polisi yang mengirimkan ancaman bahkan terkesan menantang, seolah kebal hukum dan merasa tak tersentuh. Hal ini menjadi tamparan keras bagi institusi Polri yang sedang giat-giatnya membangun citra bersih dan profesional.
Masyarakat mendesak agar praktik ini dibongkar tuntas. Jaringan prostitusi terselubung yang merugikan banyak korban dan mencoreng nama baik kota serta institusi kepolisian harus diberantas. Aparat yang terlibat atau terbukti membekingi, harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Tim Media Sofian masih berupaya menghubungi pihak Polres Cirebon dan pengelola Hotel MD7 untuk mendapatkan klarifikasi atas dugaan ini.
Hingga berita ini diturunkan, diharapkan pihak Polres Cirebon dapat memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan oleh tim Sofian. (TIM/Red)