
MetronusaNews.co.id | Lamongan – Independensi dan netralitas Kepolisian Resor (Polres) Lamongan kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, langkah PT Dok Pantai Lamongan yang memasang pagar kawat berduri di lokasi lahan sengketa, justru tidak mendapat tindakan tegas dari aparat kepolisian. Padahal, kasus sengketa lahan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap dan belum ada perintah eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Lamongan.
Tindakan PT Dok Pantai Lamongan yang melakukan pemagaran di dua titik di Jalan Deandles Km 63, Tanjung Pakis, Kemantren, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, dinilai sebagai aksi yang berpotensi mengarah pada premanisme terselubung.
Kuasa hukum PT Lamongan Marine Industry, Rio Dedy Heryawan, S.H., M.H., menilai tindakan tersebut melampaui batas dan dapat dikategorikan sebagai bentuk perampasan hak secara paksa.
“Apakah tindakan pemagaran berduri oleh PT Dok Pantai Lamongan di lokasi yang masih dalam sengketa hukum ini bukan termasuk aksi premanisme? Bukankah Kapolri sudah menginstruksikan seluruh jajaran untuk memberantas praktik-praktik premanisme?” ujar Rio kepada media, Rabu (21/05/2025).
Rio menjelaskan, pemagaran dilakukan di dua titik akses penting yang menjadi jalur keluar masuk operasional PT Lamongan Marine Industry. Tindakan ini, lanjutnya, menghambat aktivitas perusahaan kliennya dan berpotensi merugikan secara ekonomi maupun hukum.
“Yang menjadi pertanyaan besar, meski lokasi yang dipagari itu berada di bagian depan atau belakang, bolehkah seseorang melakukan pemagaran sebelum ada putusan eksekusi dari pengadilan? Ini bukan persoalan sepele,” tegas Rio.
Diketahui, hingga saat ini belum ada perintah eksekusi dari PN Lamongan. Bahkan, pengadilan justru telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penundaan Eksekusi Nomor: 322/PAN/W14-U30/HK.2.4/V/2025 tertanggal 19 Mei 2025. Artinya, secara hukum, tidak ada dasar sah bagi pihak mana pun untuk mengambil tindakan fisik atas objek sengketa.
Mirisnya, hingga berita ini dipublikasikan, Kabag Ops Polres Lamongan Kompol Budi Santoso belum memberikan tanggapan resmi terkait tindakan pemagaran tersebut.
Sikap diam dari pihak kepolisian memicu kekecewaan dari sejumlah pihak yang menilai bahwa Polres Lamongan seolah-olah menutup mata atas pelanggaran hukum terbuka di hadapan publik.
“Ini bukan hanya soal sengketa lahan. Ini soal supremasi hukum dan netralitas aparat penegak hukum. Jika polisi tak bisa berdiri netral dan tegas, bagaimana rakyat bisa percaya kepada hukum?” kritik seorang aktivis hukum di Surabaya yang enggan disebut namanya.
Kini, sorotan terhadap Polres Lamongan kian tajam. Publik menanti, apakah aparat penegak hukum di Lamongan akan tetap abai, ataukah akan kembali ke garis profesionalisme dan menegakkan keadilan secara adil tanpa keberpihakan. (Srf/Red)