
MetronusaNews.co.id | Bolaang Mongondow, SULUT – Suasana ketidakpuasan mulai merebak di kalangan masyarakat Desa Otam, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow. Warga secara terbuka menyuarakan kekecewaan mereka terhadap dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) serta pengelolaan Dana Desa. Mereka menilai bahwa berbagai kejanggalan dalam pengelolaan dana publik tersebut telah mencederai asas transparansi, akuntabilitas, dan etika pemerintahan yang semestinya dijunjung tinggi.
Salah satu sorotan utama adalah program TJSL dari PT PLN UPT Manado dengan nilai anggaran mencapai Rp311.250.000. Program ini diperuntukkan untuk bantuan bibit vanili kepada masyarakat. Namun, warga mencurigai adanya konflik kepentingan karena Kepala Desa Otam diduga turut bertindak sebagai penyedia bibit, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pelaksanaan program tersebut.
“Kami mencium adanya potensi pelanggaran terhadap etika jabatan,” ungkap seorang tokoh masyarakat. Dugaan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya mengenai larangan bagi pejabat publik untuk mengambil keputusan yang memiliki potensi konflik kepentingan.
Lebih jauh lagi, warga menyampaikan kekhawatiran bahwa bibit vanili yang seharusnya menjadi bantuan produktif bagi masyarakat justru diduga sengaja dimusnahkan. Jika dugaan ini benar, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penghilangan atau perusakan aset publik, yang berpotensi melanggar Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang, serta Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jika terbukti menyebabkan kerugian negara.
Selain persoalan TJSL, warga juga menyoroti proyek pembangunan desa yang hingga kini terbengkalai, meski dana pembangunan telah dicairkan dalam dua tahap melalui Dana Desa. Keadaan ini sebelumnya telah menjadi temuan Inspektorat Daerah, namun hingga kini belum terlihat tindak lanjut konkret dari pihak berwenang.
Menurut warga, kondisi ini tidak hanya menunjukkan lemahnya pengawasan, tetapi juga bisa mengarah pada pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang mengatur mengenai penyalahgunaan kewenangan dan penggelapan anggaran negara.
“Kami tidak tinggal diam. Kami akan terus bersuara dan mendesak agar Kejaksaan Negeri Kotamobagu serta Bupati Bolaang Mongondow segera mengambil langkah hukum tegas terhadap para oknum yang diduga terlibat,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Warga juga menuntut evaluasi dan pembatalan pemberhentian sejumlah perangkat desa yang dinilai dilakukan tidak sesuai prosedur. Hal ini disebut melanggar ketentuan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, yang mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa secara adil dan prosedural.
Di tengah berbagai dugaan pelanggaran tersebut, satu suara menggema di antara masyarakat: keinginan kuat untuk mendapatkan kepemimpinan desa yang bersih dan amanah.
“Kami butuh keadilan dan pemimpin bersih,” tegas warga Otam dalam pernyataan kolektif mereka.
Masyarakat Desa Otam kini berharap agar suara mereka tidak diabaikan, dan pihak penegak hukum serta pemangku kebijakan daerah segera turun tangan untuk menegakkan keadilan, serta memastikan bahwa dana dan program yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat tidak menjadi ladang korupsi.
(Abo’ Mokoginta | Metronusa News_Sulut)