
MetronusaNews.co.id | Medan – ( Minggu, 1/6/25 ) Dari hasil gagasan Dr. Suheri Harahap, M. Si. Dosen Sosiologi Agama/Ketua Pusat Study Eco Teologi FIS UIN SU Medan.
Bahwa Transformasi besar dalam pola interaksi manusia, termasuk dalam praktik keagamaan dan moderasinya di ruang digital dimana kecerdasan buatan (AI) kini berperan dalam menyaring konten keagamaan, mengelola diskursus publik, dan bahkan membentuk pemahaman kolektif tentang agama. Namun, ada tantangan besar: sejauh mana AI dapat menyeimbangkan antara kebebasan beragama dan pencegahan ekstremisme? Bagaimana memastikan bahwa algoritma moderasi tidak terjebak dalam bias atau dikendalikan oleh kepentingan tertentu?”
Ada sebuah pertanyaan mendasar soal AI (artificial intillegence) dapat menyeimbangkan kebebasan beragama dan pencegahan ekstrimisme? Kalimat ini perlu dijelaskan apakah kebebasan beragama dan ekstrimisme yang dimaksud? Soal kebebasan beragama dalam al Qur’an sudah jelas tidak ada paksaan dalam agama lakum dinukum waliyadin begitu juga soal aqidah tegas dalam Islam, masalahnya diujung kalimat itu ada juga kalimat pertanyaan bagaimana bahwa algoritma moderasi tidak terjebak dalam bias atau dikendalikan oleh kepentingan tertentu? Tulisan ini terlihat membuat pertanyaan tapi belum memberi makna dibalik itu? Dalam al Qur’an sebagai ajaran jelas menguraikan soal aturan mana yang halal dan mana yang haram.
Soal siapa ada kepentingan dibalik peristiwa atau bias dari realitas itu soal lain yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu tapi akar dari peristiwa harus diurai secara pandangan agama yang diyakini. Jadi pendapat AI itu bisa menyeimbangkan masih dianggap sulit justru lebih pada mendistorsi nilai keagamaan. Ada nilai kekritisan dan ketegasan. Dalam Islam soal aqidah dan muamalah berbeda dan tidak ditarik yang muamalah disebut akidah atau sebaliknya. Kalau yang dimaksud itu kepentingan aqidah atau kepentingan muamalah bisa diuraikan bukan dipolitisasi. Jadi Islam akan merawat kebhinnekaan lewat cara yang dimaknai bukan kebebasan beragama tapi kedewasaan beragama.
“Keberadaan AI dalam moderasi beragama sering kali menghadapi dilema etis. Algoritma yang terlalu kaku berisiko menghapus konten yang sah, sementara algoritma yang terlalu longgar berpotensi membiarkan ujaran kebencian berkembang. Di sinilah perlunya pendekatan yang lebih mendalam—Quantum Ethics, sebuah paradigma etika yang tidak hanya melihat benar-salah secara biner, tetapi memahami kompleksitas dan konteks dalam realitas digital”.
Kalimat diatas sepertinya ‘algoritma yang kaku dan longgar’ ini mesti diuraikan dengan cara bagaimana bisa menghapus sebuah konten dan membiarkan ujaran kebencian? Ini perlu dilihat secara utuh dan mendalam atas realitas atau peristiwa yang melatarbelakanginya. Soal konten yang dihapus dan ujaran kebencian akan terus menerus ada tanggapan dan penilaian antara subjektivitas dan objektivitas karena itu ada literasi yang disampaikan dan usaha untuk menjelaskan seobjektif atas sebuah realitas agar tujuan moderasi bisa terjaga dalam era digital.
Karena itu pola adaptasi AI dikembangkan berbasis Al Qur’an. Disinilah teknologi bermedia menuju green moderasi Washatiyah. Cara menjaga lingkungan yang diwarnai pandangan bukan benar salah secara umum tanpa makna secara agama dapat dijelaskan lebih rasional dan objektif lewat media dan juga menghindari yang bisa mereinterpretasi oleh siapa saja padahal ranah agama yang menjawabnya.
Moderasi dalam Ekosistem Digital’. Di sinilah pentingnya respons terhadap tantangan digitalisasi moderasi beragama yang mengajarkan ajaran agama yang damai, tetapi juga bagaimana memahami algoritma digital, cara kerja AI dalam moderasi konten, dan bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam membentuk kebijakan digital yang lebih adil’. Kalimat diatas sepertinya oleh manusia beragama sudah dapat menjawab mana yang benar dan mana yang salah.
Masyarakat akan menerima informasi secara bebas dan terbuka dan alam pikiran manusia akan kembali bertanya ke agama atau mendengar dakwah tokoh-tokoh yang lebih layak diterima. Etika sosial dari sebuah kerinduan pada nilai-nilai Islam yang saling menjaga, merawat lingkungan digital yang ramah untuk muamalah bidang sosial, budaya, politik, ekonomi. Karena itu, potensi konten dan ujaran kebencian adalah cara ekspresi lewat media akibat keterpurukan, ketidakadilan dan diskriminasi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Agama diperalat hadir sebagai alat untuk berjuang merefleksikan sebuah realitas atas benar dan salah dalam konteks muamalah?. Inilah tugas bersama saling menguatkan interaksi dan intensitas informasi dalam dunia maya, era digital agar kaum mahasiswa dan agamawan lebih memberi teladan.
Memperkuat Gerakan Green Washatiyah Campus (GWC) UIN Sumatera Utara
Pertama, Literasi Digital dan AI memahami bagaimana algoritma bekerja dalam menyaring dan memoderasi konten keagamaan, serta bagaimana bias dapat muncul dalam teknologi ini. Kedua, Etika Moderasi Beragama – Mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dalam ruang digital agar AI tidak menjadi alat diskriminasi atau represi keagamaan. Ketiga, Dialog Lintas Iman di Ruang Digital-Membentuk ekosistem online yang berbasis dialog konstruktif, bukan hanya sensor dan penghapusan. Point ini akan dapat dimplementasikan lewat penguatan literasi keagamaan yang terus-menerus dengan tujuan untuk membangun karakter yang Islami dan UIN SU Medan bisa mempelopori jadi Green Washatiyah Campus untuk moderasi beragama di Sumatera Utara lewat kerjasama.
Perlu memberikan motivasi dan wawasan kepada para mahasiswa mengenai tantangan dan peluang di era kecerdasan buatan. Penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam pembelajaran Islam, bahwa kecerdasan buatan (AI) saat ini sudah mampu memprediksi keinginan manusia, terutama melalui algoritma media sosial yang disesuaikan dengan minat pengguna namun AI tidak hanya terbatas pada itu, mesin cerdas ini juga memiliki kemampuan menganalisis data, membantu meringankan pekerjaan, dan di masa depan, dapat mengotomatisasi berbagai pekerjaan manusia. Tapi, hal ini juga bisa menjadi ancaman karena banyak orang yang mungkin kehilangan pekerjaannya.
Tantangan bagi mahasiswa adalah bagaimana menyikapi perkembangan teknologi yang pesat ini dengan bijak. Literasi digital dan kecerdasan dalam memilah informasi yang beredar di dunia maya. Perlu kekritisan dan literasi, apakah informasi yang disampaikan itu benar atau tidak bahwa di tengah kemajuan AI, penting bagi mahasiswa untuk tetap mengedepankan moderasi beragama yang terus berproses menuju visi 2045, tagline Green Wasathiyah Campus, yang menggabungkan nilai-nilai keseimbangan baik dalam konteks lingkungan maupun moderasi beragama. Wasathiyah Islam yang bertujuan memperluas wawasan mereka dalam memahami keberagaman.
Green Wasathiyah Campus (GWC) adalah konsep kampus yang menekankan pada keseimbangan (wasathiyyah) antara lingkungan yang ramah, keberlanjutan, dan keseimbangan sosial-kemanusiaan. Konsep ini bukan hanya tentang membangun kampus hijau, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang mendukung keberlanjutan jangka panjang dan keseimbangan antara kebutuhan manusia saat ini dan masa depan. GWC menekankan pada komitmen terhadap lingkungan, keberlanjutan, dan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan kampus.
Aspek-aspek utama Green Wasathiyah Campus: Lingkungan yang Ramah: Penggunaan energi terbarukan: Seperti panel surya, turbin angin, dan energi biomassa. Pengelolaan limbah yang baik: Melalui daur ulang, kompos, dan pengolahan limbah cair. Konservasi air: Melalui penggunaan teknologi irigasi yang efisien, penampungan air hujan, dan pengurangan pemborosan air. Penanaman pohon dan ruang terbuka hijau: Untuk meningkatkan kualitas udara dan memberikan manfaat lain. Keberlanjutan: Pendidikan lingkungan: Melalui kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, dan sosialisasi.
Penciptaan kesadaran lingkungan: Di kalangan mahasiswa, dosen, dan staf kampus. Riset dan pengembangan teknologi hijau: Untuk mendukung keberlanjutan.
Keseimbangan Sosial-Kemanusiaan:
Pengembangan keterampilan hidup: Melalui kegiatan yang menumbuhkan keterampilan seperti kepemimpinan, kerja tim, dan komunikasi efektif.
Partisipasi masyarakat: Melalui kegiatan Pengabdian masyarakat dan kolaborasi dengan berbagai pihak. Pembentukan komunitas kampus yang inklusif: Di mana semua orang merasa nyaman dan dihargai. ( Minggu, 1/6/25 ) (gustian)