
MetronusaNews.co.id | Bolaang Mongondow Timur (Boltim) – Tindakan perusakan lahan perkebunan milik warga di kawasan Molobog – Bai, Kecamatan Nuangan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, yang dijadikan sebagai lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI), resmi dilaporkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Laskar Anti Korupsi Indonesia (DPD LAKI) ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Sulawesi Utara.
Ketua DPD LAKI Sulut, Firdaus Mokodompit, menegaskan bahwa laporan tersebut merupakan langkah awal dalam membongkar aktivitas ilegal yang telah menyebabkan kerusakan ekosistem secara masif dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat serta lingkungan sekitar.
“Hari ini saya resmi melaporkan adanya pengrusakan lahan perkebunan warga ke Direskrimsus Polda Sulut. Saya akan terus mengawal kasus ini hingga pemilik lahan mendapatkan keadilan di negeri ini. Apalagi para pelaku pengrusakan menjadikan lokasi itu sebagai PETI. Ini juga bertentangan dengan UU Minerba dan UU tentang lingkungan hidup,” ujar Firdaus.
Menurut data yang berhasil dihimpun oleh LAKI Sulut, sebanyak tiga unit alat berat excavator telah beroperasi di kawasan tersebut, menggunduli areal hutan dan perkebunan hingga tandus dan menyebabkan hilangnya vegetasi secara signifikan. Aksi brutal ini berlangsung tanpa adanya izin resmi, dan diduga kuat mendapat dukungan dari oknum-oknum tertentu, sehingga para pelaku tampak kebal terhadap hukum.
Aktivis pemerhati lingkungan, Mat Abo’ Mokoginta, turut menyuarakan dukungan atas langkah hukum tersebut. Ia menyatakan bahwa ini adalah momentum penting untuk menegakkan keadilan ekologis dan memberantas praktik-praktik yang merusak tatanan lingkungan hidup.
“Saya mengapresiasi langkah DPD LAKI Sulut. Sebagai pemerhati lingkungan, saya akan ikut serta mengawal dan menyuarakan kasus ini agar tidak berhenti di meja laporan. Keadilan ekologis harus ditegakkan. Perusakan semacam ini bukan hanya kejahatan terhadap tanah warga, tapi juga terhadap generasi masa depan,” tegas Mat Abo’.
Sementara itu, Kapolda Sulut Irjen Roycke Langie, dalam kutipannya kepada media, menyatakan bahwa warga harus segera melaporkan jika terdapat aktivitas PETI di wilayah mereka.
“Kalau sudah merusak kebun warga maka silahkan dilaporkan. Saya akan minta anggota untuk segera ditertibkan,” ujar Kapolda, menegaskan komitmennya dalam penegakan hukum.
Landasan Hukum yang Dilanggar
Dalam kasus ini, setidaknya terdapat beberapa regulasi penting yang diduga telah dilanggar oleh para pelaku, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba):
Pasal 158:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
Pasal 98 Ayat (1):
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara, air, laut, atau kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”
Pasal 109:
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.”
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pasal 406 KUHP tentang Perusakan Barang:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat tak dapat dipakai, atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Tuntutan Masyarakat dan Aktivis
Para aktivis dan warga menuntut agar:
Penegakan hukum dilakukan secara transparan dan menyeluruh.
Alat berat dan seluruh aktivitas pertambangan ilegal di lokasi segera disita dan dihentikan.
Para pelaku dan pihak yang membekingi diproses secara hukum hingga tuntas.
Pemerintah daerah turut aktif mengidentifikasi dan menertibkan seluruh wilayah yang dijadikan ladang PETI.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi penegakan hukum dan komitmen perlindungan lingkungan di Sulawesi Utara. Mata publik kini tertuju pada Polda Sulut dan pemerintah daerah untuk membuktikan bahwa hukum masih tegak dan keadilan masih hidup.
( Red )