
Metronusa News.co.id
Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
Latihan militer gabungan Exercise Bersama Shield 2025 (EBS25) yang digelar oleh ๐๐ช๐ท๐ฆ ๐๐ฐ๐ธ๐ฆ๐ณ ๐๐ฆ๐ง๐ฆ๐ฏ๐ค๐ฆ ๐๐ณ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ด (๐๐๐๐). pada awal Juni 2025 memang menyedot perhatian strategis, khususnya di Indonesia.
Kehadiran kapal perang, pesawat tempur, dan ribuan personel dari Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, dan Selandia Baru di perairan regional โ termasuk area yang oleh Indonesia dianggap sensitif seperti dekat Laut Natuna dan perairan sekitar Selat Sunda โ tidak bisa dipandang sekadar sebagai rutinitas belaka.
Latihan skala besar ini, meski secara resmi ditekankan sebagai upaya memelihara interoperabilitas dan kesiapan untuk stabilitas kawasan pasca-konflik era 1960-an, berlangsung di tengah kanvas geopolitik Asia Tenggara yang sedang memanas, memicu pertanyaan dan kekhawatiran tentang implikasi sebenarnya, khususnya bagi Indonesia.
FPDA sendiri lahir dari rahim ketegangan sejarah, yaitu konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1960-an.
Tujuan deklarasinya memang menjaga stabilitas regional pasca-kemerdekaan Malaysia, menjadi semacam jaring pengaman keamanan kollektif bagi dua negara kecil (Singapura dan Malaysia) dengan dukungan tiga kekuatan ekstra-regional.
Namun, fakta bahwa aliansi yang berakar pada konflik dengan Indonesia ini tetap bertahan dan bahkan semakin aktif โ dengan patroli udara rutin (IAP), latihan laut reguler, dan latihan besar seperti Bersama Shield yang digelar setiap 2-3 tahun โ tentu menciptakan persepsi tersendiri bagi Jakarta.
Aktivitas yang terpusat di jantung maritim Asia Tenggara, terutama Selat Malaka dan Laut China Selatan (LCS), serta kini menyentuh area “punggung” Indonesia seperti Natuna dan Selat Sunda dalam EBS25, memperkuat narasi di kalangan tertentu tentang potensi “pengepungan” atau setidaknya pengawasan ketat oleh blok militer eksternal.
Konteks waktu EBS25 ( ๐๐น๐ฆ๐ณ๐ค๐ช๐น๐ฆ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ฎ๐ข ๐๐ฉ๐ช๐ฆ๐ญ๐ฅ 2025) inilah yang menambah lapisan kerumitan.
Latihan ini bukan terjadi dalam ruang hampa. Ia muncul bersamaan dengan memanasnya tensi politik dan keamanan antara Indonesia dengan beberapa negara, termasuk anggota FPDA.
Isu-isu seperti pergerakan militer asing di dekat perairan Indonesia yang dirasakan kurang transparan, sengketa atau ketidaksepahaman terkait eksplorasi sumber daya migas (terutama di wilayah perbatasan), dan situasi kompleks di Papua yang selalu menarik perhatian internasional (dan seringkali kritik), telah menciptakan atmosfer saling curiga dan ketidaknyamanan.
Meskipun skenario latihan EBS25 mungkin tidak secara eksplisit menargetkan Indonesia, pemilihan lokasi yang sensitif secara strategis dan geopolitik di tengah suasana seperti ini sulit untuk tidak dibaca sebagai pesan, atau minimal, menunjukkan ketidakpekaan terhadap perasaan strategis Jakarta.
Pakar pertahanan global menawarkan perspektif beragam namun saling melengkapi dalam membaca dinamika FPDA dan dampaknya terhadap Indonesia.
Ralf Emmers, pakar keamanan Asia Tenggara, menekankan sifat FPDA yang pada dasarnya defensif dan berfokus pada kapasitas negara anggotanya.
Dia berargumen, “FPDA tetap relevan sebagai mekanisme kepercayaan dan pembangunan kapasitas untuk Malaysia dan Singapura, bukan sebagai aliansi ofensif.
Namun, latihan di area sensitif seperti Natuna, meski legal di perairan internasional, pasti akan memicu reaksi di Jakarta karena menyentuh isu kedaulatan dan keamanan maritim yang sangat peka bagi Indonesia” (Emmers, 2023).
Di sisi lain, ๐๐ข๐ฏ ๐๐ต๐ฐ๐ณ๐ฆ๐บ, yang banyak meneliti LCS, melihat FPDA dalam kerangka kompetisi kekuatan besar. Dia menyatakan, “Aktivitas FPDA yang meningkat, termasuk di LCS, harus dilihat juga dalam konteks kekhawatiran yang lebih luas anggota-anggotanya terhadap asertivitas China.
Namun, bagi Indonesia, ini bisa terlihat sebagai bagian dari pola yang lebih besar dari keterlibatan militer eksternal di kawasannya, menambah rasa kerentanan” (Storey, 2024).
Sementara itu, analis pertahanan Indonesia seperti Evan A. Laksmana sering kali menyoroti dilema keamanan yang diciptakan. Dia mencatat, “Latihan FPDA di perairan dekat wilayah kedaulatan Indonesia, meski di jalur internasional, memperkuat persepsi ancaman tradisional di kalangan militer dan elite politik Indonesia.
Ini memicu kebutuhan respons, baik diplomasi maupun peningkatan deterensi sendiri, yang pada gilirannya dapat memicu siklus ketidakpercayaan dengan tetangga terdekat sekalipun” (Laksmana, 2025).
Jadi, Exercise Bersama Shield 2025 lebih dari sekadar manuver militer teknis. Ia adalah cermin dari ketegangan yang lebih tajam dalam arsitektur keamanan Asia Tenggara.
Klaim resmi FPDA tentang menjaga stabilitas melalui kesiapan kolektif bertabrakan dengan realitas persepsi keamanan nasional Indonesia yang merasa wilayah strategisnya “disinggahi” oleh aliansi yang secara historis memiliki beban masa lalu.
Lokasi latihan yang sensitif, timing-nya yang bertepatan dengan ketegangan politik bilateral, dan sifat FPDA yang menghubungkan kekuatan ekstra-regional secara langsung dengan keamanan Selat Malaka dan LCS, semuanya berkontribusi pada perasaan di Jakarta bahwa ruang strategisnya sedang dipersempit atau diawasi ketat.
Meskipun narasi “pengepungan” mungkin hiperbolik, kegelisahan yang mendasarinya tentang kedaulatan, pengaruh eksternal, dan dinamika keamanan yang berubah adalah nyata dan perlu ditangani.
Keberlanjutan stabilitas di kawasan ini akan sangat bergantung pada kemampuan semua pihak, termasuk FPDA dan Indonesia, untuk mengelola persepsi ini secara konstruktif melalui dialog keamanan yang transparan dan jujur, serta menghindari tindakan yang dapat diinterpretasikan sebagai provokasi di tengah atmosfer yang sudah rentan.
Diplomasi pertahanan yang intensif dan saling menghormati zona sensitif menjadi kunci untuk mencegah rutinitas latihan militer berubah menjadi pemicu ketidakstabilan baru.
๐๐๐๐๐ซ๐๐ง๐ฌ๐ข
1. ๐๐ฎ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ด, ๐. (2023). ๐๐ฉ๐ฆ ๐๐ช๐ท๐ฆ ๐๐ฐ๐ธ๐ฆ๐ณ ๐๐ฆ๐ง๐ฆ๐ฏ๐ค๐ฆ ๐๐ณ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ด ๐ข๐ต ๐๐ช๐ง๐ต๐บ: ๐๐ฐ๐ฏ๐ต๐ช๐ฏ๐ถ๐ช๐ต๐บ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐๐ฉ๐ข๐ฏ๐จ๐ฆ ๐ช๐ฏ ๐ข ๐๐ช๐ฏ๐ช-๐ญ๐ข๐ต๐ฆ๐ณ๐ข๐ญ ๐๐ฆ๐ค๐ถ๐ณ๐ช๐ต๐บ ๐๐ณ๐ฅ๐ฆ๐ณ. ๐๐ฐ๐ฏ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ฐ๐ณ๐ข๐ณ๐บ ๐๐ฐ๐ถ๐ต๐ฉ๐ฆ๐ข๐ด๐ต ๐๐ด๐ช๐ข, 45(3), 367โ389.
2. ๐๐ข๐ฌ๐ด๐ฎ๐ข๐ฏ๐ข, ๐. ๐. (2025). ๐๐ฏ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐ฆ๐ด๐ช๐ข’๐ด ๐๐ต๐ณ๐ข๐ต๐ฆ๐จ๐ช๐ค ๐๐ฐ๐ด๐ต๐ถ๐ณ๐ฆ ๐ช๐ฏ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐๐ท๐ฐ๐ญ๐ท๐ช๐ฏ๐จ ๐๐ฏ๐ฅ๐ฐ-๐๐ข๐ค๐ช๐ง๐ช๐ค: ๐๐ข๐ท๐ช๐จ๐ข๐ต๐ช๐ฏ๐จ ๐๐ฐ๐ธ๐ฆ๐ณ ๐๐ฉ๐ช๐ง๐ต๐ด ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐๐ญ๐ญ๐ช๐ข๐ฏ๐ค๐ฆ ๐๐บ๐ฏ๐ข๐ฎ๐ช๐ค๐ด [๐๐ข๐ฏ๐ถ๐ด๐ค๐ณ๐ช๐ฑ๐ต ๐ด๐ถ๐ฃ๐ฎ๐ช๐ต๐ต๐ฆ๐ฅ ๐ง๐ฐ๐ณ ๐ฑ๐ถ๐ฃ๐ญ๐ช๐ค๐ข๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ]. ๐๐ฆ๐ฏ๐ต๐ณ๐ฆ ๐ง๐ฐ๐ณ ๐๐ต๐ณ๐ข๐ต๐ฆ๐จ๐ช๐ค ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐๐ฏ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฏ๐ข๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ๐ข๐ญ ๐๐ต๐ถ๐ฅ๐ช๐ฆ๐ด (๐๐๐๐) ๐๐ฏ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐ฆ๐ด๐ช๐ข.
3. ๐๐ต๐ฐ๐ณ๐ฆ๐บ, ๐. (2024). ๐๐ฉ๐ฆ ๐๐ฐ๐ถ๐ต๐ฉ ๐๐ฉ๐ช๐ฏ๐ข ๐๐ฆ๐ข ๐๐ช๐ด๐ฑ๐ถ๐ต๐ฆ: ๐๐ข๐ท๐ช๐จ๐ข๐ต๐ช๐ฏ๐จ ๐๐ช๐ฑ๐ญ๐ฐ๐ฎ๐ข๐ต๐ช๐ค ๐๐ต๐ข๐ญ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ต๐ฆ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐๐ต๐ณ๐ข๐ต๐ฆ๐จ๐ช๐ค ๐๐ฐ๐ฎ๐ฑ๐ฆ๐ต๐ช๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ. ๐๐ฏ ๐. ๐๐ข๐ฏ (๐๐ฅ.), ๐๐ข๐ฏ๐ฅ๐ฃ๐ฐ๐ฐ๐ฌ ๐ฐ๐ฏ ๐๐ฆ๐ข๐ค๐ฆ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐๐ฆ๐ค๐ถ๐ณ๐ช๐ต๐บ ๐ช๐ฏ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐๐ฏ๐ฅ๐ฐ-๐๐ข๐ค๐ช๐ง๐ช๐ค (๐ฑ๐ฑ. 215-232). ๐๐ฅ๐ธ๐ข๐ณ๐ฅ ๐๐ญ๐จ๐ข๐ณ ๐๐ถ๐ฃ๐ญ๐ช๐ด๐ฉ๐ช๐ฏ๐จ.