
Metronusanews.co.id | Semarang – Dunia maya bukan lagi sekadar ruang hiburan atau informasi. Ia telah menjelma menjadi medan pertempuran ideologi, tempat Islam moderat dan radikal saling berebut pengaruh. Di tengah pusaran itu, wartawan senior Suara Merdeka dan dosen FISIP Unwahas, Agus Fathuddin Yusuf, resmi meraih gelar doktor usai mempertahankan disertasinya yang berjudul, “Dinamika Kontestasi Ideologi Islam Moderat dengan Islam Radikal di Media Sosial”,
dalam Sidang Terbuka Program Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Jumat (04/07/2025).
Dalam momen istimewa tersebut, Agus berfoto bersama Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen serta para penguji, menandai kelahiran seorang doktor baru yang bukan hanya berilmu, tetapi juga mengusung misi dakwah di dunia digital yang semakin kompleks.
Sidang ilmiah dipimpin oleh Rektor UIN Walisongo Prof Dr H Nizar MAg sebagai ketua tim penguji, dengan Prof Dr Muhammad Sulthon MAg sebagai sekretaris. Agus didampingi oleh promotor Prof Dr Ahmad Rofiq MA, kopromotor Dr Najahan Musyafak MA, serta penguji eksternal dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Zulkifli MA.
Turut hadir sejumlah tokoh penting, Direktur Pembinaan Haji Kemenag RI Dr KH Mustain Ahmad, Kabag TU Kanwil Kemenag Jateng Dr Wahid Arbani, Ketua BAZNAS RI Prof Dr Noor Achmad MA, Ketua MUI Jateng KH Ahmad Darodji, mantan Gubernur Jateng KH Ali Mufiz, serta para ulama pesantren, akademisi, wartawan senior, dan tokoh-tokoh keummatan lainnya.
Dalam disertasinya, Agus mengungkap bahwa kontestasi antara Islam moderat dan radikal di media sosial merupakan upaya perebutan legitimasi atas tafsir Islam di era modern. Bukan hanya sekadar adu argumen, tetapi pertarungan ideologi yang terstruktur, strategis, dan sangat memengaruhi arah kehidupan beragama masyarakat.
“Dunia digital bukan sekadar platform, melainkan medan pertempuran utama. Di sana, kedua kubu berusaha mendominasi wacana, merebut hati, dan menaklukkan pikiran umat, khususnya generasi muda yang menjadi penghuni asli dunia digital,” ujarnya.
Agus menegaskan, kelompok radikal menggunakan konten visual yang emosional, dikemas secara profesional dalam bentuk video, meme, dan infografis. Mereka menyajikan narasi simplistis “kita versus mereka”, dengan musuh bersama yang seringkali disasar: pemerintah, Barat, atau kelompok Islam lain.
Sebaliknya, kelompok moderat seperti NU dan Muhammadiyah hadir dengan narasi-narasi menyejukkan, menebar toleransi, mengklarifikasi ajaran, dan memperkuat Islam rahmatan lil alamin.
Menurut Agus, ada dua sisi dampak dari kontestasi ini.
Pertama, dampak negatif, eskalasi polarisasi, radikalisasi, normalisasi ujaran kebencian, serta menjamurnya hoaks keagamaan yang merusak kepercayaan publik kepada ulama dan otoritas keagamaan,
“Algoritma media sosial menciptakan echo chamber dan filter bubble. Pengguna terkunci dalam pandangannya sendiri, dan dialog antar kelompok menjadi makin sulit. Kecurigaan dan prasangka tumbuh subur,” jelasnya.
Kedua, dampak positif, tumbuhnya kesadaran kolektif umat Islam, terutama kalangan muda, untuk melawan arus radikalisme dengan narasi Islam yang lebih damai, moderat, dan inklusif.
Promotor Prof Ahmad Rofiq MA mengungkapkan kebanggaannya atas capaian akademik Agus Fathuddin Yusuf,
“Beliau telah menulis selama lebih dari 30 tahun sebagai jurnalis. Kini ia menulis dengan ruh keilmuan yang tinggi. Agus bukan sekadar wartawan, ia jembatan antara ilmu, media, dan umat,” tegasnya.
Agus menamatkan S1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo dan S2 di Nanchang University, Tiongkok. Kini ia aktif sebagai Sekretaris Umum MUI Jateng, Wakil Ketua PCNU Kota Semarang, Mustasyar PCINU Tiongkok, dan pengawas di berbagai lembaga pendidikan Islam.
Di akhir sesi, Agus menegaskan pentingnya kesadaran baru dalam berdakwah,
“Mereka yang menyebarkan kedamaian lewat kata dan narasi adalah mujahid sunyi di zaman digital. Jangan biarkan ruang maya dipenuhi kebencian. Mari rebut kembali panggung digital untuk Islam yang rahmah, wasathiyah, dan penuh hikmah,” pungkasnya.
(Budinono)