
MetronusaNews.co.id | Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Langit seolah tak lagi bersahabat, begitu juga dengan tanah dan air. Tanah yang dulu subur dan ramah, kini berubah menjadi air bah yang mengamuk, atau longsoran gumpalan bumi yang menelan apa saja di depannya.
Negeri ini merintih, tetapi telinga manusia seakan tertutup oleh gemerincing harta dan bisikan nafsu yang tak pernah puas.
Apakah Tuhan murka? Tidak. Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini bukan kemarahan, melainkan teguran, sebuah panggilan untuk bangkit dari kelalaian.
Alam hanya mencerminkan apa yang kita lakukan padanya. Ketika tangan-tangan serakah terus merampas haknya, ketika hati manusia membatu dan tak lagi peduli, maka bumi pun merespons dengan caranya sendiri.
Lihatlah para pemimpin korup yang seharusnya menjadi pelindung. Mereka berlomba mengumpulkan harta, bukan untuk kemakmuran rakyat, melainkan untuk memuaskan hasrat yang tak berujung.
Sudah milyaran, mengapa masih mengejar trilyunan? Seakan-akan kematian adalah mitos, seolah-olah mereka akan membawa harta itu ke dalam liang kubur. Padahal, kain kafan tak memiliki kantong.
Dan rakyat? Kita pun tak sepenuhnya bersih. Kita mungkin tidak korupsi , tetapi kita abai. Sampah dibuang sembarangan, seolah bumi ini bukan rumah bersama. Uang haram diterima dengan senyum, seolah rezeki tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Bahkan sesuap nasi atau sebungkus sembako bisa menjadi alasan untuk menjual masa depan, memilih pemimpin yang tak layak hanya karena iming-iming sesaat.
Kita lupa, bahwa setiap ketidakpedulian adalah bara kecil yang suatu hari akan membesar menjadi api bencana.
Ini bukan tentang kutukan, melainkan tentang hukum alam sebab dan akibat. Jika hutan digunduli, banjir akan datang. Jika sungai dijadikan tempat sampah raksasa, air akan membalas dengan amukannya. Jika moral diabaikan, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Merenunglah sejenak. Dengarkan tangisan anak-anak yang kehilangan rumah akibat banjir. Rasakan kepedihan petani yang sawahnya terkubur longsor. Lihatlah air mata orang tua yang tak lagi punya tempat berpijak. Mereka mungkin bukan penyebabnya, tetapi mereka yang paling menderita.
Mari berubah sebelum terlambat. Kembalikan kesadaran bahwa bumi ini titipan anak cucu. Harta yang halal lebih berkah daripada kekayaan haram yang melimpah.
Kepedulian kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, menolak suap, memilih pemimpin dengan hati nurani, bisa menjadi benih kebaikan yang menyelamatkan negeri ini.
Allah tidak marah, Ia hanya mengingatkan. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi? Negeri ini terlalu indah untuk dihancurkan oleh keserakahan dan kelalaian kita sendiri.
Satu hal lagi wahai penduduk negeri, hidup itu sementara, kita tidak tahu kapan ruh kita akan di panggil. Ketika masa itu tiba siapkah kita ? atau kita menganggap “ah kehidupan setelah mati hanyalah mitos belaka “, jika itu yang ada dalam fikiran kita maka balas akan kita rasakan .
Meskipun balasan itu sudah mulai ada tanpa kita sadari. coba lihat kehidupan kita, apakah ada ketenangan dalam menjalani hari ? bagaimana anak-anak kita berprilaku ? apakah generlap harta membuat kita tenang ? kita sendirilah yang bisa menjawabnya .
Jakarta 08 Juli 2025, ditulis di tengah cuaca mendung yang mencekam Jiwa sambil mendengar lagu Ebiet G Ade, “ Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-doa, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita…