
MetronusaNews.co.id| Lebak,Banten. Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) di Desa Inten Jaya, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, diduga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Investigasi wartawan di lapangan menemukan sejumlah kejanggalan baik dari sisi mutu pekerjaan, pengawasan, maupun kesesuaian lokasi dengan kontrak.
Berdasarkan papan informasi resmi, proyek ini tercatat berada di daerah irigasi Citalu, sesuai kontrak No. SPKS HK.02.03/121/PKS/Az.05.3/VIII/2025 tertanggal 12 Agustus 2025, dengan nilai kontrak Rp195.000.000,- dan waktu pelaksanaan 45 hari kalender kerja. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pekerjaan justru dikerjakan di Cidadap, bukan di Citalu sebagaimana tercantum dalam kontrak maupun aplikasi resmi.
Ketika dikonfirmasi, pelaksana di lapangan hanya beralasan bahwa hal tersebut “mungkin sudah dikoordinasikan dengan balai”. Padahal, dokumen kontrak tertulis jelas menyebutkan titik lokasi berada di daerah irigasi Citalu.
Selain itu, mutu pekerjaan juga menuai sorotan. Batu hanya ditempel tanpa dilakukan penggalian ulang, serta penggunaan material semen Holcim yang dikerjakan secara asal-asalan. Kondisi ini membuat bangunan irigasi rawan rusak dan tidak bertahan lama.
Dari sisi pengawasan, Tim Pendamping Masyarakat (TPM) jarang hadir langsung ke lokasi. Mereka hanya meminta dokumentasi foto dari pelaksana sebagai laporan progres, tanpa memastikan kualitas pekerjaan di lapangan. Lemahnya pengawasan inilah yang semakin membuka peluang terjadinya praktik penyimpangan anggaran.
Secara hukum, pekerjaan yang dibiayai APBN wajib sesuai aturan. Hal ini sebagaimana diatur dalam:
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 ayat (1): “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
Dengan adanya kejanggalan lokasi pekerjaan yang berbeda dari kontrak, mutu yang asal jadi, dan lemahnya pengawasan, potensi permainan anggaran di tahap pencairan berikutnya sangat mungkin terjadi. Apalagi proyek ini masih berada pada tahap pencairan termin pertama, sementara potensi “permainan” kerap muncul pada pencairan tahap akhir, sekitar 30 persen dari nilai kontrak.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian maupun ketua P3A Sekar Tani belum memberikan klarifikasi resmi terkait temuan investigasi ini.
(Tim)