
MetronusaNews.co.id | Depok – Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok kembali menjadi sorotan. Alih-alih menjadi lembaga yang melindungi hak rakyat, BPN justru diduga menjadi bagian dari skandal besar pertanahan di Pancoran Mas, Depok. Hak masyarakat pemegang SK Gubernur tertanggal 23 Desember 1972 (SK Kinag) kini tersandera, terkatung-katung akibat permainan mafia tanah yang ditunggangi oknum pejabat pertanahan.
OR, salah satu ahli waris pemilik SK Kinag yang mendapat kuasa penuh dari keluarga besar, menyebut kisah panjang ini sebagai bentuk penzhaliman sistematis terhadap rakyat kecil. Sejak 1973, panitia pembangunan rumah sakit Departemen Kesehatan (Depkes) yang dipimpin Tunggon mulai “mengganggu” tanah masyarakat dengan modus menakut-nakuti. Senin (8/9/2025).
“Mereka menakut-nakuti masyarakat bahwa lahan itu akan dibangun rumah sakit pemerintah. Dengan alasan akan diterbitkan sertifikat, SK milik warga ditarik, tapi yang keluar justru girik yang kemudian dijadikan dasar transaksi jual-beli dengan panitia Depkes,” ungkap OR.
Tak berhenti di situ, para pemilik SK Kinag dipaksa meninggalkan lahannya dengan iming-iming ganti rugi tak sepadan. Situasi kian sulit karena berada di bawah rezim Orde Baru. “Kalau menolak, langsung dituduh PKI,” kata OR.
Lahan pun dipagari kawat dan dipasangi plang “Tanah Milik Departemen Kesehatan Republik Indonesia”, yang justru dikukuhkan oleh BPN Bogor kala itu. Bukannya melindungi rakyat, aparat pertanahan malah memperkuat legitimasi penggusuran.
Belakangan, Ketua Panitia Depkes pengganti, Bapak Budi, menyadari kesalahan pendahulunya dan melalui jalur damai mengembalikan tanah kepada pemilik sah. Bahkan seorang pejabat BPN yang pro-rakyat sempat membantu menerbitkan 67 sertifikat tanah berbasis SK Kinag. Namun, lagi-lagi terjadi kesalahan serius: gambar ukur mengacu pada kavling Depkes, bukan tanah asli masyarakat.
Data Kanwil ATR/BPN Bandung semakin memperjelas fakta: terdapat 358 SK Kinag terdaftar, yang berarti rakyat adalah pemilik sah. Tetapi ulah oknum BPN justru membuka jalan bagi mafia tanah untuk kembali menguasai lahan dengan praktik jual-beli ilegal dan buldoser tanpa dasar hukum.
Saat ini OR memegang 18 sertifikat asli, sementara puluhan lainnya masih tertahan di BPN Kota Depok. Meski surat resmi sudah dilayangkan, hingga kini tidak ada jawaban. Diamnya BPN justru menambah kecurigaan publik bahwa lembaga negara ini tidak netral dan memberi ruang gerak bagi mafia tanah.
“Kalau BPN tidak bisa memberi kejelasan, ini akan menjadi skandal besar pertanahan yang ditunggangi aparat negara sendiri,” tegas OR.
Suara kritik juga datang dari aktivis perempuan Depok, AY, yang menilai kasus ini bukan hanya soal sengketa tanah, tetapi juga menyangkut harga diri rakyat kecil.
“Saya berharap dalam hal pengembalian tanah masyarakat pemegang SK Kinag ini mendapat perhatian dari Gubernur Jawa Barat. Kiranya KDM (Kang Dedi Mulyadi) bisa membantu mengembalikan haknya kepada masyarakat yang berhak,” ujar AY.
Menurutnya, Gubernur Jawa Barat harus tampil sebagai mediator dan pengambil keputusan, bukan membiarkan rakyat berjuang sendirian menghadapi mafia tanah yang dilindungi seragam negara.
Kasus SK Kinag adalah tamparan keras bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN. Jika BPN Depok terus membiarkan kebuntuan ini, maka citra lembaga pertanahan sebagai pelindung hak rakyat akan runtuh.
OR menegaskan, rakyat tidak akan berhenti. Jika BPN Depok tak kunjung memberi jawaban, ia berencana melangkah ke Istana Presiden untuk mengadu langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Rakyat kecil dizalimi, hak sah diabaikan, sementara mafia tanah bebas beraksi. Menteri ATR harus turun tangan. Kalau tidak, rakyat pemegang SK Kinag akan terus menderita,” pungkas OR.
Sejumlah aturan hukum yang seharusnya menjadi benteng perlindungan hak rakyat justru diabaikan. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa sengkarut pertanahan di Depok bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi telah masuk ke ranah pidana dan tindak korupsi.
Pertama, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 secara jelas mewajibkan negara memberikan kepastian hukum hak atas tanah melalui penerbitan sertifikat (Pasal 19). Faktanya, SK Gubernur Jawa Barat tertanggal 23 Desember 1972 yang sah secara hukum diabaikan, sementara masyarakat justru dipaksa menyerahkan SK mereka dan diganti dengan girik tanpa dasar yang jelas.
Kedua, praktik penarikan paksa SK masyarakat dan penggantian dengan girik diduga kuat melanggar Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 10 menegaskan, keputusan administrasi tidak boleh merugikan hak warga. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: warga kehilangan hak sahnya akibat keputusan sepihak.
Ketiga, tindakan BPN Depok yang menahan sertifikat serta tidak menjawab surat resmi masyarakat juga melanggar UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat dijanjikan kepastian hukum, tetapi yang diberikan justru ketidakpastian dan pembiaran praktik mafia tanah.
Keempat, dari sisi pidana, ada indikasi kuat pelanggaran KUHP Pasal 263 tentang pemalsuan surat karena adanya penggunaan girik sebagai alas hak jual-beli yang tidak sah. Selain itu, Pasal 421 KUHP juga bisa dikenakan kepada pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dengan menakut-nakuti warga hingga menuduh mereka sebagai PKI di era Orde Baru.
Kelima, aturan teknis PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan tegas menyatakan sertifikat adalah bukti hak yang kuat (Pasal 32). Namun, BPN justru membiarkan data ukur salah kaprah dan tidak sesuai bidang tanah asli masyarakat.
Lebih jauh, keterlibatan oknum pejabat BPN dalam praktik mafia tanah berpotensi menyeret kasus ini ke ranah tindak pidana korupsi. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor Pasal 3 mengancam pejabat yang menyalahgunakan wewenang hingga merugikan masyarakat dan negara. (TIM/Red)