
MetronusaNews.co.id | Lebak, Banten – Sejak berdiri pada tahun 2000, Provinsi Banten selalu menghadirkan paradoks. Di satu sisi, wilayah ini menjadi penopang ekonomi nasional berkat kawasan industri besar di Tangerang dan Cilegon. Namun, di sisi lain, Banten masih berkutat pada kemiskinan, ketimpangan, dan kualitas hidup masyarakat yang tertinggal dibandingkan DKI Jakarta.
Kontras itu semakin mencolok ketika menilik penghasilan anggota DPRD Banten periode 2024–2029. Berdasarkan Pergub Nomor 31 Tahun 2024, seorang anggota DPRD dapat mengantongi total penghasilan sekitar Rp125 juta per bulan. Angka itu melonjak dibandingkan ketentuan sebelumnya dalam Pergub 37 Tahun 2022.
Sementara itu, Upah Minimum Provinsi (UMP) Banten 2025 hanya ditetapkan sebesar Rp2,9 juta. Artinya, satu bulan gaji anggota DPRD setara dengan 27–28 bulan upah buruh.
Struktur Fantastis Tunjangan DPRD
Komponen utama penghasilan anggota DPRD Banten mencakup:
Uang Representasi: Rp2,25 juta untuk anggota.
Tunjangan Jabatan: Rp3,26 juta.
Tunjangan Komunikasi Intensif: Rp21 juta per bulan.
Tunjangan Reses: Rp21 juta per periode.
Tunjangan Perumahan: Rp43 juta untuk anggota; Ketua bahkan mencapai Rp49,8 juta.
Jika digabungkan dengan tunjangan lain, seorang legislator Banten dapat mengantongi lebih dari Rp1,5 miliar per tahun. Jumlah ini belum termasuk fasilitas kendaraan dinas dan perjalanan luar daerah.
Di sisi lain, buruh Banten yang bergantung pada UMP Rp2,9 juta harus berhadapan dengan biaya hidup yang kian tinggi:
Sewa kontrakan sederhana di Tangerang Selatan Rp1,5–2 juta per bulan.
Harga beras menembus Rp14.000–15.000/kg.
Transportasi pekerja industri rata-rata Rp1–1,5 juta per bulan.
Praktis, seluruh penghasilan habis hanya untuk kontrakan, makan, dan transportasi. Hampir tak ada ruang untuk tabungan, pendidikan anak, atau kesehatan.
Menurut BPS, per Maret 2024 angka kemiskinan Banten berada di kisaran 6,2% atau sekitar 750 ribu jiwa. Jika kelompok rentan miskin ikut dihitung, jumlahnya mendekati 2 juta orang. Ketimpangan pendapatan tercermin dalam koefisien gini 0,38—cukup tinggi meski sedikit di bawah rata-rata nasional.
Dengan 100 anggota DPRD, total belanja gaji dan tunjangan mereka membebani APBD hingga puluhan miliar rupiah per tahun. Angka tersebut setara dengan pembangunan ratusan ruang kelas baru atau ribuan beasiswa anak miskin.
Ketimpangan penghasilan antara wakil rakyat dan rakyat pekerja menimbulkan pertanyaan serius mengenai legitimasi politik DPRD. Alih-alih menjadi corong aspirasi rakyat, lembaga legislatif dikhawatirkan sekadar tampil sebagai simbol elitisme.
Menurut Karl Marx, stratifikasi sosial yang timpang adalah wujud dominasi kelas berkuasa terhadap kelas pekerja. Dalam konteks Banten, DPRD dipandang sebagai representasi elit yang menikmati surplus ekonomi dari APBD.
Todaro dan Smith (2015) menegaskan, ketimpangan ekstrem bukan hanya masalah distribusi pendapatan, melainkan juga ancaman stabilitas sosial-politik. Kondisi ini bisa memicu resistensi publik, delegitimasi pemerintah, bahkan potensi konflik sosial.
Agar kesenjangan tak semakin melebar, beberapa langkah reformasi perlu segera ditempuh:
1. Transparansi total – seluruh penerimaan DPRD harus diumumkan secara terbuka.
2. Tunjangan berbasis kinerja – besaran tunjangan harus dikaitkan dengan capaian legislasi, efektivitas pengawasan, dan kualitas representasi.
3. Prioritas anggaran untuk rakyat – APBD harus lebih diarahkan pada pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.
4. Perbaikan UMP – agar sejalan dengan biaya hidup riil masyarakat perkotaan.
Perbandingan antara penghasilan fantastis DPRD Banten dan upah buruh memperlihatkan jurang sosial yang tajam. Sementara wakil rakyat hidup bergelimang tunjangan, jutaan rakyat Banten berjuang dengan upah minimum yang nyaris tak cukup.
Tanpa reformasi menyeluruh, DPRD berisiko kehilangan legitimasi di mata rakyat. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan anggaran kepada masyarakat adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik serta mewujudkan keadilan sosial di Provinsi Banten.