
MetronusaNews.co.id | Sorong 2025/06/27 – Seruan keras menggema dari jantung tanah adat Malamoi, ketika masyarakat adat Suku Moi Klabra di Kabupaten Sorong menyatakan penolakan tegas terhadap rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit milik PT Fajar Surya Persada. Bagi mereka, tanah adat bukan sekadar hamparan kosong, tetapi warisan leluhur yang menyimpan roh kehidupan.
“Tanah Moi jangan dirusak, Tanah Moi milik masyarakat Moi. Ini bukan tanah kosong!” demikian seruan yang disampaikan masyarakat adat dalam pertemuan di Distrik Buk dan Distrik Klabot baru-baru ini.
Penolakan itu tidak datang dari masyarakat adat semata. Alberto Klasmian, anggota DPRK Kabupaten Sorong jalur Otsus, turut angkat suara.
“Saya mendukung penuh sikap masyarakat adat Klabra. Tanah ini seperti tubuh perawan—alami dan utuh. Tidak boleh disentuh investor yang hanya datang untuk merusak,” tegas Alberto.
Menurutnya, kehadiran perusahaan kelapa sawit akan merusak ekosistem, merampas sumber ekonomi masyarakat adat, (berburu dan meramu) yang akan meninggalkan luka ekologis jangka panjang. Ia juga menekankan pentingnya menjaga tanah adat untuk generasi emas tanah Moi Klabra, agar tak mewarisi kehancuran akibat rakusnya investasi asing.
Suara senada juga disampaikan Frinset Syatfle, Wakil Ketua Pokja Adat Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRP-PBD). Ia menyebut bahwa investasi PIR kelapa sawit tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat Moi.
“Yang dibutuhkan masyarakat adalah kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi, bukan kerusakan lingkungan,” tegas Frinset.
Frinset menekankan bahwa setiap bentuk investasi di atas tanah adat Malamoi harus melalui persetujuan dan aspirasi masyarakat adat. Memaksakan masuknya investor tanpa restu adat, menurutnya, sama saja dengan melecehkan hak ulayat, pikiran, dan air mata masyarakat adat Moi.
“Tanah ini punya roh. Jangan paksa masyarakat menerima janji pembangunan, sementara hasil alam mereka dirampas dan sumber daya manusianya diabaikan,” ujar Frinset.
Masyarakat adat dan lembaga kultur memperingatkan bahwa dampak jangka panjang dari investasi sawit bisa sangat merusak. Selain menyebabkan krisis air bersih akibat rusaknya daerah tangkapan air, keanekaragaman hayati hutan adat juga akan musnah.
Menurut kajian lingkungan yang dikutip oleh tokoh adat, pembukaan hutan sawit skala besar akan memicu:
– Penggundulan hutan alami,
– hilangannya hak kepemilikan akan harta kekayaan, Tanah ulayat adat,
– Pencemaran sungai akibat limbah pabrik sawit,
– Kepunahan flora-fauna endemik wilayah Malamoi, ( kerusakan ekosistim ),
– hilangnya mata pencaharian hidup masayarakat adat Moi Klabara (berburu dan meramu)
– Pemiskinan struktural masyarakat adat karena hilangnya akses atas tanah dan sumber pangan.
Tanah Malamoi bukan tanah kosong. Ia adalah rumah adat, lumbung pangan, dan pusat spiritualitas masyarakat Moi. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Moi Klabra hari ini adalah bentuk perlawanan terhadap praktik ekonomi ekstraktif yang tidak berpihak pada keadilan ekologis dan sosial.
Mereka tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin memastikan bahwa pembangunan yang terjadi tidak menghancurkan identitas dan masa depan mereka.
“Save Tanah Malamoi! Kami tidak butuh janji manis, kami butuh kehidupan yang tetap utuh!” (Annis Br/Tim).